LAMONGAN | MDN – Sesuai dengan Undang-Undang Lingkungan Hidup No. 23 Tahun 1997, lingkungan mencakup kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, serta makhluk hidup—termasuk manusia dan perilakunya—yang mempengaruhi kelangsungan hidup dan kesejahteraan manusia serta ekosistem sekitarnya.
Masuknya investor di berbagai daerah, termasuk Lamongan bagian selatan, diharapkan membawa keuntungan bagi pemerintah dengan meningkatkan perekonomian daerah dan membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat. Namun, kenyataan yang terjadi saat ini justru bertolak belakang dengan harapan tersebut.
Investor melihat Lamongan sebagai kawasan potensial untuk membuka industri baru dengan operasional rendah guna memperoleh keuntungan lebih besar dibandingkan kota besar, di mana standar upah pekerja lebih tinggi. Sayangnya, sebagian investor tidak mempertimbangkan dampak lingkungan dan kesejahteraan masyarakat akibat aktivitas industri yang tidak memperhitungkan risiko jangka panjang.
Di wilayah Desa Dradah, Desa Kedungceleng, dan Desa Kalen, Kecamatan Kedungpring, Kabupaten Lamongan, terdapat beberapa pabrik pengolahan kayu yang memberikan dampak signifikan terhadap lingkungan.
Polusi udara dari kepulan asap hitam yang dihasilkan mesin boiler pabrik menjadi keluhan utama warga, disertai dengan serpihan kayu halus yang terbawa angin dan berpotensi menyebabkan gangguan pernapasan bagi masyarakat setempat. Selain itu, area persawahan yang berada di sekitar pabrik ikut terdampak, menyebabkan hasil panen pertanian menurun secara drastis.
Menurut warga sekitar, pencemaran lingkungan akibat industri kayu ini belum mendapatkan penanganan yang layak dari pihak berwenang.
“Sejak pabrik beroperasi, tidak ada tindakan apa pun. Bahkan sawah kami terkena dampaknya, pertumbuhan padi tidak maksimal dan hasil panen terus menurun,” ungkap seorang warga sambil menunjuk kepulan asap yang berasal dari pabrik.
Keluhan serupa juga disampaikan oleh warga lainnya, yang mempertanyakan keberadaan Corporate Social Responsibility (CSR) dari pihak industri.
“Kami sudah sering mengeluh, tapi tidak ada tindakan dari pemerintah desa maupun pabrik. Kompensasi pun tidak ada, apalagi CSR untuk desa,” imbuhnya.
Untuk memperjelas situasi, tim investigasi mencoba mengonfirmasi langsung kepada aparat desa setempat. Hasilnya, pihak pabrik memang belum memberikan kontribusi bagi desa maupun masyarakat sekitar.
“Tidak ada kontribusi apa pun ke desa. Kami sudah menyampaikan keluhan warga, namun hingga kini hak desa masih belum terealisasi,” jelas seorang kepala desa yang wilayahnya terdampak.
Menanggapi persoalan ini, masyarakat berencana berkoordinasi dengan Dinas Lingkungan Hidup serta instansi terkait guna menuntut kewajiban pabrik terhadap lingkungan serta hak-hak masyarakat yang terdampak. Dengan adanya tindakan tegas dari pemerintah, diharapkan keseimbangan antara investasi industri dan keberlanjutan lingkungan dapat tercapai tanpa mengorbankan kesejahteraan warga. [Sat]