Pengamat: Kewenangan DPR Evaluasi Pejabat Negara Dapat Rusak Sistem Bernegara

admin
Pengamat Kewenangan Dpr Evaluasi Pejabat Negara Dapat Rusak Sistem Bernegara
Kompleks DPR/MPR RI di kawasan Senayan, Jakarta, menjelang pelantikan anggota DPR/MPR untuk periode 2024-2029, 26 September 2024. (Yasuyoshi Chiba/AFP)

Sejumlah pengamat menilai upaya DPR memperluas kewenangan dalam mengevaluasi pejabat negara dapat merusak sistem bernegara. Mereka mengatakan, langkah tersebut menunjukan DPR tidak mengerti teori hirarki dan kekuatan mengikat norma hukum.

Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) baru-baru ini setuju merevisi Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib, yang salah satunya membuka ruang bagi DPR untuk mengevaluasi secara berkala pejabat negara yang telah mereka pilih. Hasil evaluasi ini bisa berujung pada rekomendasi pemberhentian, yang sifatnya mengikat.
Dengan disahkannya revisi tatib DPR tersebut, kini semua pejabat negara yang ditetapkan dalam Rapat Paripurna DPR bisa dievaluasi oleh DPR termasuk pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) hingga hakim Mahkamah Konstitusi.

Pakar Hukum Tata Negara Universitas Andalas Charles Simabura mengingatkan tatib DPR adalah peraturan yang hanya berlaku untuk internal lembaga DPR dan mengikat anggota DPR. Tidak bisa seseorang yang sudah diangkat sebagai pejabat negara seperti hakim Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK) dan komisioner KPK lanjutnya terikat oleh eksistensi, peraturan, atau norma yang ada dalam Tatib DPR.

Secara konstitusional, kata Charles, ketentuan ini jelas bertentangan dengan konstitusi karena dalam konstitusi DPR tidak memiliki kewenangan itu. DPR, ujaranya, hanya memiliki fungsi pengawasan, fungsi anggaran, dan fungsi legislasi. Menurut Charles tindakan DPR ini berlebihan dan terlihat ingin menunjukan sebagai “lembaga super”.

Dia menilai tatib DPR itu illegal, inkonstitusional. DPR ungkapnya ingin institusi-institusi negara tunduk pada lembaga tersebut negara dan ingin memposisikan dirinya sebagai lembaga yang posisinya lebih tinggi dari lembaga-lembaga lain. Padahal, kata Charles, konsep yang sebenarnya, semua lembaga negara itu merdeka, mandiri, dan mereka saling mengimbangi.

“Fungsi untuk melakukan evaluasi terhadap penyelenggara negara, tidak diatur dalam mekanisme di DPR kecuali fungsi untuk pergantian antarwaktu terhadap anggota mereka sendiri. Jadi nggak ada itu mekanimesme evaluasi yang berimplikasi pada pencopotan pejabat atau penyelenggara negara di luar lembaga DPR,” ujar Charles kepada VOA, Kamis (6/4).

Charles menduga ada motif politik terhadap peraturan tata tertib ini. “Kita tahu dulu ini ditujukan bagi hakim MK pada saat mereka merevisi undang-undang MK. Mereka mencoba untuk mengaburkan dengan tidak hanya mengatur bagi MK, tapi semakin kebablasan,” katanya.

Pengajar Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah mengatakan sebenarnya hal seperti itu bukan hal yang baru. Pasalnya DPR kerap kali memiliki rencana melakukan upaya kooptasi atau menyadera lembaga-lembaga negara agar menjadi subordinat dari kepentingan DPR.

“Itu menandakan DPR menjadi semakin kehilangan kewarasannya, kehilangan akal sehatnya. Karena ini, menurut saya, sudah kebablasan. Ketika kemudian hanya bermodalkan Tatib, mengubah ketentuan yang diatur dalam konstitusi dan undang-undang. Gimana ceritanya? Gimana logikanya sekelas tatib hendak mengubah konstitusi dan undang-undang,” kata Herdiansyah.

FILE - Pembicaraan Tingkat II/Pengambilan Keputusan atas RUU tentang Ibu Kota Negara menjadi Undang-Undang dalam Rapat Paripurna Ke-13 DPR RI Masa Persidangan III Tahun Sidang 2021-2022, Selasa, 18 Januari 2022. (Twitter/@DPR_RI)
FILE – Pembicaraan Tingkat II/Pengambilan Keputusan atas RUU tentang Ibu Kota Negara menjadi Undang-Undang dalam Rapat Paripurna Ke-13 DPR RI Masa Persidangan III Tahun Sidang 2021-2022, Selasa, 18 Januari 2022. (Twitter/@DPR_RI)

Herdiansyah menjelaskan, pemberhentian pejabat-pejabat negara di MK, di KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), Bawaslu (Badan Pengawas Pemilihan Umum), dan KPU (Komisi Pemilihan Umum) itu tidak bisa dilakukan di tengah jalan karena masa jabatan para pejabat ini bersifat tetap.

Pemberhentian pejabat-pejabat negara itu, katanya, sudah diatur dalam undang-undang dan konstitusi. ”Yang bisa diberhentikan di tengah jalan itu pejabat negara yang meninggal atau melakukan tindak pidana. Kalau DPR hendak memberhentikan pejabat-pejabat (negara) di tengah jalan, itu tidak punya alasan yang memadai,” katanya.

Ia menyarankan, tatib DPR terbaru tersebut diabaikan oleh para pejabat negara, Sebab, tatib itu tidak punya kekuatan hukum apa pun, Yang lebih penting juga ialah mendorong Presiden Prabowo Subianto untuk bereaksi terhadap masalah ini agar tetap terjaganya ketatanegaraan di Indonesia.

Ketua Dewan Nasional Setara Institute Hendardi menyatakan kewenangan baru yang diberikan melalui tatib itu sebagai bentuk intervensi keliru atas prinsip check and balances dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.

FILE - Anggota DPR RI membacakan sumpah mereka dalam upacara pelantikan di Jakarta, Selasa, 1 Oktober 2019. (Mario Jose/AP)
FILE – Anggota DPR RI membacakan sumpah mereka dalam upacara pelantikan di Jakarta, Selasa, 1 Oktober 2019. (Mario Jose/AP)

Memang, menurutnya, tidak ada penyebutan pencopotan pejabat, tetapi frasa pasal 228A Ayat 2 menyebutkan hasil evaluasi bersifat mengikat. Hasil evaluasi itu, katanya, bisa berujung pada pencopotan jika hasil evaluasi merekomendasikan pencoporan seseorang pejabat penyelenggara negara.

Sementara secara substantif, kata Hendardi, norma tersebut dinilainya bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat dalam pasal 1 Ayat 2UUD 1945. Prinsip ini ditujukan untuk menjamin kemerdekaan dan independensi lembaga-lembaga yang diatur konstitusi, memastikan kontrol dan keseimbangan antar tiap cabang kekuasaan, dan tidak boleh ada pengaturan lain yang secara substantif melemahkan independensi lembaga-lembaga negara baik yang dibentuk dengan UUD maupun UU lainnya.

Sementara itu, Ketua Badan Legislasi DPR Bob Hasan mengatakan pasal 228 A di tatib DPR murni dihadirkan demi menjaga keseimbangan antara legislatif, yudikatif dan eksekutif. Ia pun membantah revisi itu dilakukan atas pertimbangan politik.

Bob bahkan menyebutkan, DPR tidak menutup kemungkinan meningkatkan aturan baru di tatib tersebut menjadi undang-undang. Untuk ini, bisa saja aturan itu dimasukkan dalam poinrevisi UU tentang MPR, DPR, DPRD, DPD – yang dikenal sebagai UU MD3 — supaya kewenangan mengevaluasi ini lebih kuat dan mengikat. [Red]#VOA

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *