PEMALANG | MDN – Suatu hari, di sebuah klinik dokter, Pak Arif, seorang pria paruh baya berusia 50-an, datang dengan wajah penuh kelelahan. “Dok, saya merasa mudah lelah, napas pendek saat menaiki tangga, dan sulit tidur nyenyak.” Awalnya, ia menganggap hal itu sebagai bagian dari “menu hidup modern.” Namun, setelah diperiksa dokter, hasil menunjukkan tekanan darah tinggi, kadar gula darah puasa meningkat, dan lingkar perutnya melebihi batas. Dokter pun mendiagnosisnya dengan sindrom metabolik.
Apa sebenarnya sindrom metabolik itu?
Secara medis, sindrom metabolik merupakan kumpulan kondisi seperti gula darah tinggi, tekanan darah tinggi, lemak perut berlebih, kadar kolesterol baik (HDL) yang rendah, atau trigliserida tinggi, yang muncul bersamaan dan meningkatkan risiko serangan jantung, stroke, serta diabetes melitus. Seseorang dikatakan mengalami sindrom metabolik jika memiliki setidaknya tiga dari lima kondisi tersebut.
Patofisiologi utama sindrom metabolik adalah resistensi insulin, yaitu kondisi ketika tubuh tidak lagi merespons insulin secara efektif, menyebabkan gangguan metabolisme gula dan lemak. Pola hidup modern—duduk terlalu lama, konsumsi makanan tinggi gula dan lemak, stres berkepanjangan, serta kurang tidur—semakin memperparah kondisi ini. Kombinasi tersebut diam-diam menjadi bom waktu dalam tubuh.
Di Indonesia, sindrom metabolik bukanlah fenomena langka. Data menunjukkan bahwa prevalensi sindrom metabolik mencapai 23,34% dari total populasi, dengan angka lebih tinggi pada laki-laki (26,2%) dibandingkan perempuan (21,4%).
Dampak Sindrom Metabolik
Sindrom metabolik bukan hanya berdampak pada satu organ. Ia dapat merusak jantung, pembuluh darah, ginjal, dan otak, serta mempercepat penuaan dan menurunkan kualitas hidup. Individu dengan sindrom metabolik memiliki risiko dua kali lipat terkena penyakit jantung dan lima kali lipat lebih berisiko mengalami diabetes tipe 2.
Ironisnya, banyak orang tidak menyadari keberadaan sindrom metabolik karena gejalanya nyaris tidak terasa. Namun, tubuh sebenarnya memberikan tanda-tanda awal, seperti napas yang mulai pendek, stamina yang menurun, lingkar perut yang membesar, serta kualitas tidur yang semakin buruk.
Tubuh bukan sekadar alat, tetapi juga penyampai pesan. Dalam bukunya The Body Keeps the Score, Dr. Bessel van der Kolk menulis bahwa tubuh kita menyimpan ingatan dan kebenaran yang tak sempat diungkap. Ia merekam jejak keputusan kita, apakah kita memperlakukannya dengan hormat atau membiarkannya kelelahan tanpa jeda.
Refleksi Kepemimpinan dari Sindrom Metabolik
Pelajaran penting dari sindrom metabolik adalah kesadaran diri. Banyak dari kita sibuk memimpin tim, keluarga, bahkan komunitas. Namun, apakah kita sudah mampu memimpin tubuh dan hidup kita sendiri?
Pepatah Jawa mengatakan, “Sapa sing bisa mimpin awake dhewe, bakal luwih gampang mimpin wong liya.” Kepemimpinan bukan hanya soal jabatan, tetapi juga soal keteladanan, termasuk menjaga kesehatan diri, mengatur ritme hidup, serta memperbaiki kebiasaan agar lebih sehat dan seimbang.
Langkah pencegahan sindrom metabolik tidak harus ekstrem. Mulailah dengan berjalan kaki selama 30 menit setiap hari, mengurangi konsumsi gula dan gorengan, tidur cukup, serta mengelola stres dengan bijak. Jika tubuh sudah memberikan tanda-tanda peringatan, jangan abaikan. Dengarkan dan respons dengan tindakan yang tepat.
Karena jika kita tidak memimpin tubuh kita sendiri, maka penyakitlah yang akan memimpin hidup kita.
Pemalang, 15 Mei 2025