TUBAN – MDN | Seorang pria asal Kecamatan Kerek, Kabupaten Tuban, Jawa Timur, berinisial AR (30), harus berurusan dengan aparat gabungan setelah mengunggah foto dua anak sedang memberi hormat kepada bendera bergambar simbol bajak laut dari serial One Piece. Foto tersebut sempat ia bagikan melalui status WhatsApp.
Aksi iseng AR itu ternyata memicu reaksi dari warga yang kemudian melaporkannya kepada pihak Koramil setempat. Tak lama berselang, aparat dari tiga pilar Kecamatan Kerek—Koramil, Polsek, dan Satpol PP—mendatangi kediaman AR untuk meminta klarifikasi.
Menurut keterangan yang dihimpun MDN, foto tersebut diambil pada Jumat (1/8) di sebuah gubuk kecil di samping rumah AR. Di sana, bendera One Piece berukuran sekitar 40×50 cm dikibarkan di tiang setinggi dua meter, dan dua anak tampak memberi hormat ke arah bendera.
Meski status WhatsApp tersebut telah terhapus dan bendera sudah diturunkan, aparat tetap melakukan kunjungan ke rumah AR. Mereka menanyakan maksud dan tujuan dari unggahan tersebut, serta memberikan edukasi agar tidak sembarangan membuat konten yang berpotensi menimbulkan kesalahpahaman.
“Bendera itu sudah kami amankan ke kantor Satpol PP. Kami juga memastikan bahwa foto tersebut telah dihapus dari ponsel yang bersangkutan,” ujar Kapolsek Kerek, Iptu Kastur, kepada media
Pesan Anda telah terkirim
, Minggu (3/8).
Dari hasil klarifikasi, AR mengaku bahwa aksinya semata-mata dilakukan karena iseng. Tidak ada niat untuk melakukan provokasi atau tindakan yang melanggar hukum. Orang tua AR juga turut hadir saat aparat memberikan nasihat dan edukasi.
“Motifnya hanya iseng. Kami datang bersama tiga pilar untuk memastikan tidak ada maksud lain di balik unggahan tersebut,” tambah Kastur.
Menanggapi fenomena pengibaran bendera One Piece yang marak menjelang peringatan HUT ke-80 RI, pakar hukum tata negara dari Universitas Brawijaya, Aan Eko Widiarto, menilai bahwa tindakan tersebut merupakan bentuk ekspresi sosial yang sah secara hukum.
“Selama tidak dimaksudkan sebagai simbol negara baru, maka tidak melanggar hukum. Ini adalah kritik sosial, bukan tindakan makar,” ujar Aan kepada Media.
Ia menambahkan bahwa kemunculan simbol tersebut mencerminkan kekecewaan masyarakat terhadap kondisi negara, terutama terkait isu-isu seperti pemblokiran rekening warga, pengambilalihan aset, dan pemberian amnesti kepada tokoh politik.
Aan juga mengingatkan bahwa DPR RI seharusnya tidak serta-merta memvonis rakyat yang menyuarakan aspirasi melalui simbol-simbol alternatif, melainkan melakukan klarifikasi dan dialog terbuka.
“Jika rakyat bergerak sendiri, itu pertanda fungsi representasi tidak berjalan. Aspirasi seperti ini seharusnya didalami, bukan disalahkan,” pungkasnya. [J2]













