NGAWI – MDN | Warga Kabupaten Ngawi digemparkan oleh kasus pelecehan seksual terhadap anak di bawah umur yang dilakukan oleh seorang pria berusia 45 tahun. Pelaku bernama Sriyono, warga Kecamatan Sine, diduga menyetubuhi korban berusia 15 tahun sebanyak dua kali dengan dalih pengobatan supranatural.
Kasus ini terungkap setelah nenek buyut korban merasa curiga terhadap metode pengobatan yang dilakukan pelaku. Setelah ditanya, korban mengaku bahwa Sriyono menyetubuhinya pada bulan April dan Juni 2025. Pelaku berdalih bahwa tindakan tersebut merupakan bagian dari ritual penyembuhan agar korban kembali patuh kepada keluarga dan mau bersekolah.
“Tersangka mengaku bisa menyembuhkan korban dengan membacakan doa dan memberikan petuah. Ia juga mengancam bahwa jika korban menolak, orang tuanya akan meninggal dunia,” ungkap Kapolres Ngawi AKBP Charles Pandapotan Tampubolon dalam konferensi pers, Kamis (14/8/2025).
Setelah pengakuan tersebut, keluarga korban segera melaporkan kejadian ke Polsek Sine pada 9 Juli 2025. Polisi kemudian mengamankan sejumlah barang bukti dari korban dan pelaku, termasuk pakaian dalam dan sprai yang digunakan saat kejadian.
Atas perbuatannya, Sriyono dijerat dengan Pasal 81 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 sebagai perubahan kedua atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Pasal tersebut menyatakan bahwa:
“Setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun dan paling lama 15 tahun serta denda paling banyak Rp5 miliar.”
Jika pelaku memiliki hubungan keluarga, atau jika korban mengalami dampak berat seperti gangguan psikologis atau penyakit menular, maka hukuman dapat ditingkatkan hingga 20 tahun penjara atau bahkan pidana seumur hidup.
Selain pidana pokok, pelaku juga dapat dikenai sanksi tambahan berupa pengumuman identitas ke publik, kebiri kimia, dan pemasangan alat deteksi elektronik, sebagaimana diatur dalam Pasal 81A UU yang sama.
Kasus ini menjadi pengingat bahwa anak adalah subjek hukum yang wajib dilindungi oleh negara. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28B ayat (2) menegaskan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, serta perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Pemerintah juga telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Pelindungan Anak, sebagai bentuk komitmen memperkuat perlindungan anak dari ancaman kekerasan, termasuk yang berkedok supranatural atau manipulatif.
MDGroup mengimbau masyarakat untuk tidak ragu melaporkan tindakan kekerasan terhadap anak ke pihak berwenang. Perlindungan anak bukan hanya tanggung jawab keluarga, tetapi juga seluruh elemen masyarakat. [Don]













