Opini  

Tutorial Anti-Wartawan Ala Kades Sukorejo: Minta KTP, Teriak Maling, Gebuk Bila Perlu

admin
Anti wartawan ala sutrisno

LAMONGAN – MDN | Dunia pers Indonesia kembali diguncang oleh inovasi komunikasi publik yang tak terduga. Kali ini datang dari Kepala Desa Sukorejo, Kecamatan Loceret, Kabupaten Nganjuk, yang sukses membuat netizen geleng kepala dan jurnalis mengelus dada lewat sebuah video TikTok berdurasi 2 menit 38 detik.

Dalam video yang diunggah oleh akun Suarajatim.com, Sutrisno tampil bak motivator desa, memberikan arahan strategis kepada para kepala desa se-Kabupaten Nganjuk tentang cara menghadapi wartawan dan LSM dari luar daerah. Bukan dengan kopi dan diskusi, tapi dengan KTP dan… gebukan.

“Kalau ada wartawan datang, jangan takut. Minta KTP-nya. Kalau dia tanya soal birokrasi, tolak saja. Media tidak punya kewenangan,” ucap Sutrisno, seolah sedang membacakan pasal dari Kitab Undang-Undang Desa Mandiri Tanpa Media.

Tak berhenti di situ, ia melanjutkan dengan strategi lanjutan yang lebih… fisikal. “Kalau wartawan itu ngeyel, langsung teriaki maling. Kalau perlu, kita gebukin di situ. Enggak apa-apa, aku ikut tanggung jawab,” katanya, dengan semangat yang lebih cocok untuk gladi resik aksi massa daripada pelayanan publik.

Pernyataan ini sontak menuai reaksi keras dari berbagai kalangan. Praktisi hukum, pegiat kebebasan pers, dan bahkan tukang fotokopi di depan kantor kecamatan pun sepakat: ini bukan edukasi, ini provokasi.

Secara hukum, tindakan menghalangi kerja jurnalistik bisa dikenai sanksi pidana. Tapi mungkin Sutrisno sedang mencoba menciptakan “jurisprudensi TikTok” versi desa, di mana hukum bisa dinegosiasikan lewat caption dan filter.

Merespons polemik tersebut, Ketua Umum Persatuan Jurnalis Indonesia (PJI), Hartanto Boechori, melayangkan somasi kepada Bupati Nganjuk. Tak lama kemudian, Bupati mengumpulkan 52 kepala desa dalam rapat darurat. Organisasi lain yang hadir? Maaf, kursi sudah penuh. Demokrasi memang kadang harus antre.

Ketua PJI Nganjuk, Bung Impi, menyampaikan pesan tegas: “Api yang dikobarkan harus dipadamkan.” Sebuah kalimat yang terdengar seperti tagline film laga, tapi kali ini ditujukan untuk konten TikTok.

Akhirnya, Sutrisno membuat surat permohonan maaf dan mengunggah video klarifikasi. Video sebelumnya? Ditakedown. Rupanya, keberanian digital punya tombol “hapus”.

Namun pertanyaannya: apakah cukup dengan permintaan maaf dan video klarifikasi? Atau kita sedang menyaksikan episode baru dari serial “Pejabat Bicara, Publik Terpana”?

Media Destara Group mengingatkan bahwa kepala desa adalah ujung tombak pelayanan publik, bukan ujung pentungan. Pernyataan yang mengarah pada kekerasan dan pengabaian hukum tidak hanya mencoreng institusi pemerintahan desa, tetapi juga mengancam tatanan demokrasi yang telah dibangun dengan susah payah—dan dengan banyak kopi.

Kami berharap, ke depan, pejabat publik lebih bijak dalam bermedia sosial. Jika ingin viral, mungkin bisa dengan konten edukatif, bukan ajakan gebuk wartawan. Karena dalam negara hukum, yang viral belum tentu legal.

Dan untuk para jurnalis, jangan lupa bawa KTP. Siapa tahu, investigasi berikutnya berujung di balai desa, bukan di ruang redaksi. [J2]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *