LAMONGAN – MDN | Laporan dugaan penyimpangan Dana Desa (DD) Sedayulawas, Kecamatan Brondong, Kabupaten Lamongan, kini memasuki babak baru. Setelah melalui proses audit oleh Inspektorat Kabupaten Lamongan, hasil pemeriksaan resmi telah diserahkan ke Kejaksaan Negeri Lamongan pada Jumat, 19 September 2025.
Perwakilan warga Sedayulawas, Abdurrahman, menyampaikan bahwa pihaknya telah menerima informasi terkait perkembangan laporan tersebut. Ia berharap proses hukum berjalan transparan dan sesuai aturan yang berlaku. “Kami ingin memastikan bahwa hukum ditegakkan secara adil. Jangan sampai kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum tergoyahkan,” ujarnya saat ditemui di Kantor Kejari Lamongan, Rabu (24/9/2025).
Kepala Seksi Tindak Pidana Khusus (Kasipidsus) Kejari Lamongan, Anton Wahyudi, membenarkan bahwa pihaknya telah menerima Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) dari Inspektorat. “Hasil audit sudah kami terima minggu lalu dan saat ini sedang dalam tahap telaah,” ungkapnya.
Laporan dugaan korupsi ini berawal dari aksi unjuk rasa ratusan warga Sedayulawas pada 28 Februari 2025, yang menuntut transparansi penggunaan Dana Desa tahun anggaran 2022–2024. Pengaduan resmi kemudian dilayangkan ke Kejaksaan Negeri Lamongan pada 10 Maret 2025.
Feri Susanto, salah satu warga pelapor, menyebutkan tiga proyek yang menjadi sorotan, yakni pembangunan Tempat Pembuangan Sampah (TPS), tandon air, dan KIIS Café di taman desa. “Kami menduga ada kejanggalan dalam penggunaan anggaran. TPS sepanjang 42 meter dianggarkan Rp100 juta, tandon air ukuran 3×3 meter Rp213 juta, dan KIIS Café sekitar Rp417 juta,” jelasnya.
Setelah menerima laporan, Kejaksaan melimpahkan kasus tersebut ke Inspektorat Lamongan untuk dilakukan audit investigatif pada 10 Juni 2025. Hasil audit tersebut kini menjadi dasar bagi Kejari Lamongan untuk menentukan langkah hukum selanjutnya.
Dugaan korupsi Dana Desa ini berpotensi melanggar ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, khususnya Pasal 72 yang mengatur penggunaan Dana Desa untuk pembangunan dan pemberdayaan masyarakat. Jika terbukti ada penyalahgunaan, pelaku dapat dijerat dengan Pasal 3 dan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001. Ancaman hukuman maksimal adalah 20 tahun penjara dan denda hingga Rp1 miliar.
Masyarakat Sedayulawas berharap proses hukum berjalan objektif dan tidak berhenti di tengah jalan. “Kami tidak ingin kasus ini tenggelam. Ini soal keadilan dan hak masyarakat atas transparansi anggaran,” tegas Abdurrahman. [NH]













