Oleh: Suhardiman**
TAKALAR – MDN | Setiap Hari Guru, ingatan saya bergerak seperti daun yang jatuh pelan—membawa kembali wajah-wajah guru yang pernah membentuk langkah saya.
Dari senyum mereka, teguran mereka, bahkan cubitan kecil yang dulu membuat saya meringis…
semua kini menjadi kenangan yang tidak dapat saya bayar dengan apa pun.
Guru bukan sekadar penyampai ilmu.Guru adalah cahaya—dan beberapa cahaya, meski raganya telah tiada, tetap menyinari hidup murid-muridnya.
Saya selalu percaya, setiap guru datang membawa misi kecil dari langit:
menyentuh hati muridnya, membentuk akhlaknya, menuntun masa depannya.
Mereka datang ketika pagi belum bersuara, dan pulang ketika senja sudah hampir letih. Kesabaran mereka tidak pernah habis, termasuk ketika harus mencubit kami yang bandel, cubitan yang dulu kami anggap hukuman, namun ternyata adalah tanda cinta yang tidak semua orang bisa berikan.
Hari ini, saya ingin berterima kasih…untuk cubitan-cubitan itu, Bu, Pak. Terima kasih karena itu mengajari kami menjadi manusia yang tertib, peka, dan tahu diri. Cubitan kecil itu ternyata adalah bentuk lembut dari doa yang disampaikan tanpa kata.
Dalam perjalanan menjadi dewasa, saya sering menoleh ke masa lalu.
Dan di sana, salah satu cahaya yang paling kuat adalah sosok Almarhum H. Abd. Razak Beta,
mantan Kepala Madrasah Tsanawiyah PonPes Al Qamar Bajeng Kab. Takalar. Beliau bukan hanya pemimpin madrasah. Beliau adalah sosok yang berdiri tegak sebagai mata air ilmu,
yang menuntun murid-muridnya dengan ketegasan yang penuh kasih.
Dengan suara yang lembut namun berwibawa, dengan langkah yang mantap, dengan akhlak yang teduh seperti pohon besar yang menaungi siapa pun di sekitarnya.
Hari ini, izinkan saya – seorang murid kecil yang pernah berdiri di depannya, yang pernah ditegur, diarahkan, bahkan mungkin pernah dicubit—
mengucapkan:
Terima kasih, Almarhum Guru. Terima kasih atas cahaya yang tidak pernah padam.
Terima kasih atas ilmu yang terus hidup di setiap langkah kami. Terima kasih karena pernah menjadi bagian dari perjalanan hidup saya.
Semoga keluarga besar beliau—anak-anaknya, cucu-cucunya, dan seluruh keturunannya – bangga mengetahui bahwa nama beliau tetap harum bukan hanya di dalam keluarga, tetapi juga di hati murid-muridnya.
Warisan beliau bukan hanya bangunan madrasah,
tetapi ribuan akhlak baik yang tumbuh dari tangan dan ajaran beliau.
Guru, yang Tetap Hidup Dalam Setiap Langkah Kita, Guru tidak pernah benar-benar pergi. Mereka hidup di dalam cara kita berbicara,
cara kita menghargai orang lain, cara kita mengambil keputusan, bahkan cara kita menghadapi hidup.
Setiap kali saya menulis, setiap kali saya berpikir sebelum bertindak, saya tahu—ada jejak guru dalam diri saya.
Hari ini, untuk semua guru yang pernah menuntun saya, yang masih mengajar di sekolah dan madrasah, yang sedang berjuang mendidik generasi baru, dan yang telah kembali kepada Allah:
Terima kasih.
Terima kasih untuk ilmu. Terima kasih untuk kesabaran. Terima kasih untuk cubitan yang mendidik. Terima kasih untuk cinta yang tidak pernah selesai.
Dan untuk Alm. H. Abd. Razak Beta, semoga Allah melapangkan kuburnya, mengangkat derajatnya, dan menjadikan seluruh amalnya sebagai cahaya yang terus berjalan.
Dari saya, Suhardiman – seorang murid yang masih membawa cahaya gurunya ke mana pun ia melangkah. (La’nyara/Bontokadieng)













