Oleh: Redaksi MD-Group
LAMONGAN | MDN – Keluhan warga di sepanjang jalur Babat–Jombang, khususnya di KM 09 hingga KM 11, bukan sekadar suara resah. Ini adalah alarm sosial yang menandakan bahwa tata kelola industri dan lalu lintas di wilayah tersebut sedang tidak sehat. Truk pengangkut limbah produksi berupa serbuk kayu dan serpihan, serta kendaraan berat yang parkir sembarangan, telah mengganggu kenyamanan dan membahayakan keselamatan pengguna jalan.
Pratama, salah satu warga, menyebut ancaman langsung dari debu dan serpihan yang beterbangan. “Kalau kena mata atau terhirup, bisa membahayakan,” ujarnya. Santoso menambahkan bahwa sejak pabrik berdiri, warga hanya menerima dampak negatif tanpa ada manfaat nyata. Pernyataan ini bukan sekadar keluhan, tapi cermin dari minimnya komunikasi dan tanggung jawab sosial perusahaan.
Jika limbah yang diangkut termasuk kategori Bahan Berbahaya dan Beracun (B3), maka pengangkutannya wajib mengikuti Permen LHK No. 4 Tahun 2020. Kendaraan harus memiliki izin, dokumen lengkap, dan tidak mencemari lingkungan. Namun, meski limbah kayu tidak tergolong B3, dampaknya tetap nyata: debu, polusi, dan potensi kecelakaan.
Parkir sembarangan di bahu jalan juga melanggar UU No. 22 Tahun 2009, Pasal 38. Sanksinya jelas: denda hingga Rp500.000 atau kurungan maksimal 2 bulan (Pasal 287 ayat 3). Sayangnya, penegakan aturan ini masih lemah di lapangan.
Bangunan pabrik yang terlalu dekat dengan jalan raya berpotensi melanggar PP No. 34 Tahun 2006 dan Permen PUPR No. 5 Tahun 2023, yang mengatur ruang milik jalan (rumija). Pemasangan rambu tanpa izin juga bertentangan dengan Permenhub No. 13 Tahun 2014. Ketika tata ruang dan rambu diabaikan, yang dirugikan adalah masyarakat pengguna jalan.
Warga mempertanyakan apakah pabrik telah memenuhi kewajiban AMDAL dan menjalankan CSR. Menurut UU No. 40 Tahun 2007 dan PP No. 47 Tahun 2012, perusahaan yang bergerak di bidang sumber daya alam wajib melaksanakan CSR sebagai bentuk tanggung jawab sosial dan lingkungan. Namun, di lapangan, warga belum merasakan program pemberdayaan, pendidikan, atau pelestarian lingkungan.
Jika CSR hanya menjadi formalitas dokumen, maka perusahaan gagal memahami esensi keberadaannya di tengah masyarakat. “Diamnya warga bukan berarti tidak ada masalah,” kata Santoso. Pernyataan ini adalah peringatan: jika perusahaan terus abai, konflik sosial bisa muncul.
Pemerintah daerah, dinas perhubungan, dan aparat penegak hukum harus segera turun tangan. Penertiban kendaraan berat, evaluasi tata ruang, dan audit AMDAL serta CSR perusahaan harus dilakukan secara transparan. Jalan raya bukan tempat limbah. Dan warga bukan objek pasif yang hanya menerima dampak.
Perusahaan harus ingat: di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Keberadaan industri harus memberi manfaat, bukan sekadar keuntungan finansial. Jika tidak, maka keberlanjutan sosial dan lingkungan akan menjadi korban. [Red]













