Ragam  

Nada Sunyi di Karepattoddo: Siking dan Puik-Puik Harapan dari Rumah yang Tak Banyak Bicara

admin
Nada Sunyi di Karepattoddo

TAKALAR | MDN – Di Dusun Karepattoddo, Desa Barugaya, Kecamatan Polongbangkeng Timur, hidup tidak selalu hadir dalam suara keras atau sorotan terang. Di sana, di sebuah rumah sederhana yang berdiri tenang di antara ladang dan pohon-pohon tua, seorang pria bernama Siking Dg Se’re menjaga hidupnya dengan cara yang tak biasa—dalam diam, dalam keterbatasan, namun penuh makna.

Sejak kecil, Siking hidup dengan gangguan penglihatan. Dunia baginya bukan gelap total, tapi juga tak pernah benar-benar terang. Ia hanya bisa melihat jika wajahnya dimiringkan ke samping, seolah hidup memang harus ia pandang dari sudut yang berbeda.

Di rumah itu, ia tinggal bersama istrinya yang juga penyandang disabilitas, dengan gangguan bicara. Kata-kata jarang terdengar di antara mereka. Namun keheningan itu bukan kekosongan. Di sana ada kasih, ada kesetiaan, ada ketabahan yang tak membutuhkan banyak suara.

Siking tidak memiliki sawah, tidak punya kebun. Ia tidak menggantungkan hidup pada ladang atau pasar. Yang ia miliki hanyalah puik-puik—alat musik tiup tradisional dalam kesenian gendang Makassar. Dari puik-puik itulah ia meniup harapan.

Saat ada hajatan, saat adat memanggil, Siking hadir membawa suara puik-puik yang khas. Ia menjadi bagian dari ritus, dari budaya, dari kehidupan sosial yang masih menghargai tradisi. Tapi panggilan tidak selalu datang. Ada hari-hari panjang yang ia jalani tanpa undangan, tanpa penghasilan, tanpa kepastian.

Namun Siking tidak mengeluh. Ia duduk tenang, memiringkan wajahnya, menatap dunia sebisanya. Di sampingnya, sang istri mendampingi dalam diam. Di antara mereka, seorang anak kecil tumbuh—belum tahu beratnya hidup orang tuanya, tapi menjadi alasan paling kuat untuk tetap bertahan.

Keluarga kecil ini tidak meminta lebih. Mereka tidak menuntut. Mereka hanya menjaga hidup tetap berjalan dengan martabat. Di rumah sunyi itu, mereka membuktikan bahwa cinta tidak selalu hadir dalam kata, dan harapan tidak selalu berteriak.

Kisah Siking Dg Se’re bukan untuk menyalahkan keadaan. Ia adalah potret kehidupan yang berjalan pelan, namun teguh. Tentang bagaimana keterbatasan tidak selalu berarti kekalahan. Tentang bagaimana manusia bisa tetap berdiri, meski dunia tak selalu memandang.

Di Dusun Karepattoddo, nada puik-puik itu sesekali masih terdengar. Tidak selalu lengkap, tidak selalu lantang. Tapi cukup untuk mengingatkan kita bahwa hidup, dalam bentuk paling sederhana sekalipun, tetap bisa bernilai. [D’kawang]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *