Pemberian Hak Pilih Bagi Difabel dalam Pemilu

admin
Pemberian Hak Pilih Bagi Difabel Dalam Pemilu
Petugas melakukan perhitungan kartu suara pada pemilu legislatif sebuah TPS di DKI Jakarta. (Foto: ilustrasi).

Pada hakekatnya para penyandang disabilitas memiliki kedudukan hukum dan hak azasi manusia yang sama dengan warga negara Indonesia lain, termasuk hak politik. Untuk itu, mereka juga memperoleh kesempatan memberikan suara dalam pemilu 2024. Apakah TPS-TPS di Indonesia telah ramah bagi para difabel?

(MDN) – Dalam Pemilu 2024, dipastikan seluruh TPS ramah bagi para pemilih disabilitas, lansia, ibu hamil, dan ibu menyusui agar mereka merasa nyaman dalam memberikan suara.

Sebenarnya ada berapa banyak difabel yang mempunyai hak suara?

Ahmad Ma'ruf-pendamping para difabel untuk mendapat hak memilih sesuai UU. (dok. pribadi)
Ahmad Ma’ruf-pendamping para difabel untuk mendapat hak memilih sesuai UU. (dok. pribadi)

Pengurus Majelis Pemberdayaan Masyarakat Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Ahmad Ma’ruf yang menjadi pendamping para disabilitas mengatakan, “Tercatat di KPU, ada sebanyak satu juta seratus ribu pemilih difabel, atau 0.54 persen dari total pemilih yang terdaftar di KPU. Artinya angka ini meskipun 0,5 persen, namun tetap harus dihormati dan dipenuhi oleh penyelenggara,“ ujarnya.

Berbagai jenis difabel

Persoalannya kini, penyandang disabilitas banyak jenisnya. Pihak KPU juga harus memahami kebutuhan masing-masing jenis difabel.

“Dari pemilih yang terdata di KPU, yang 27% adalah ragam disabilitas sensorik, entah itu wicara, rungu maupun netra. Dan itu memerlukan proses sosialisasi khusus.”

Menurut Ahmad Ma’ruf, beberapa KPU sudah menyelenggarakan forum sosialisasi. Namun jumlah mereka ribuan dan tersebar, sehingga tidak semuanya ikut dalam forum-forum itu. Jadi ada resiko, mereka tidak paham siapa yang akan dipilih. Itu kendala pertama, jelasnya.

Kuni Fatonah-penyandang difabel daksa, mampu naik sepeda motor yang direncang khusus agar bisa membawa kursi rodanya (dok. pribadi).
Kuni Fatonah-penyandang difabel daksa, mampu naik sepeda motor yang direncang khusus agar bisa membawa kursi rodanya (dok. pribadi).

Salah seorang difabel daksa, Kuni Fatonah yang kehilangan dua kaki akibat polio sewaktu kanak-kanak mengatakan, “Secara umum KPU sudah memberikan keterbukaan kepada petugas KPPS, dan sudah ada kepedulian kepada teman-teman diffabel. Mereka sudah mensosialisasikan dan semua tempat sudah aksesibel, apakah di TPS itu ada difabelnya atau tidak, pokoknya semua tempat harus rata (lantai atau tanahnya)”.

Ramah bagi para difabel

Kendala kedua, tambah Ahmad Ma’ruf adalah aksesnya, karena tidak semua TPS mempunyai akses untuk semua jenis difabel. Tetapi bagi difabel daksa (berkursi roda), sudah banyak TPS yang menyediakan sarana, dengan menyiapkan ramp (jalur khusus untuk kursi roda), meja yang lebih rendah dan terbuka di bawahnya agar kursi roda bisa masuk di bawah meja.

Ahmad Ma'ruf bersama Kuni Fatonah menerima penghargaan Anugerah revolusi mental dari kementrian PMK, diserahkan oleh Wakil Presiden, Makruf Amin (dok. pribadi).
Ahmad Ma’ruf bersama Kuni Fatonah menerima penghargaan Anugerah revolusi mental dari kementrian PMK, diserahkan oleh Wakil Presiden, Makruf Amin (dok. pribadi).

Lalu apa yang disiapkan untuk mengakomodasi penyandang disabilitas sensorik?

Kuni Fatonah mengungkapkan, “Kami juga sudah berbincang-bincang dengan teman di KPU bahwa tahun ini mereka sudah dilatih. Bagaimana berinteraksi jika yang datang itu netra, bagaimana menggandengnya agar nyaman. Kemudian ketika yang datang tuli, mereka juga sudah belajar bahwa kalau tuli itu nanti didatangi, jangan dipanggil karena tentu tidak mendengar.”

Kuni Fatonah (tengah) pada acara Evaluasi dan Koordinasi KSP Akses Kemandirian Difabel (dok. pribadi).
Kuni Fatonah (tengah) pada acara Evaluasi dan Koordinasi KSP Akses Kemandirian Difabel (dok. pribadi).

Sesuai dengan peraturan yang ada, pihak KPU merasa sudah siap dalam hal penyediaan sarana bagi para difabel, termasuk menyediakan surat suara dalam huruf braile.

Wuri Rahmawati, MSc., Ketua Divisi Sosialisasi Pendidikan Pemilih Partisipasi Masyarakat dan SDM dari KPU mengatakan, “Kami mendorong kepada KPPS (Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara) menyediakan TPS yang ramah bagi diffabel, baik dari sisi aksesibilitas tempat maupun tatacara melayani. Kalau dari sisi fasilitasnya, TPS dibangun di daerah yang datar. Juga kami menyediakan lima kursi prioritas di setiap TPS, sehingga harapannya ketika ada pemilih difabel yang datang, bisa langsung menempati kursi itu.”

Bebas dan rahasia?

Meskipun demikian, bagi semua penyandang difabel dan pemilih yang sakit keras, yang tidak mampu melakukan pencoblosan secara mandiri, diperlukan pendamping yang tidak hanya membantu masuk ke bilik suara, namun juga membantu pencoblosan. Muncul pertanyaan, apakah dengan cara itu pemilu sudah tidak bebas dan rahasia lagi?

Wuri Rahmawati, MSc, Ketua Divisi Sosialisasi Pendidikan Pemilih Partisipasi Masyarakat dan SDM di KPU (dok. pribadi).
Wuri Rahmawati, MSc, Ketua Divisi Sosialisasi Pendidikan Pemilih Partisipasi Masyarakat dan SDM di KPU (dok. pribadi).

Wuri menjelaskan, “Kepada kelompok masyarakat secara luas kami sampaikan, bahwa boleh didampingi oleh anggota keluarga ataupun oleh petugas kami, tetapi pendamping ini harus benar-benar bisa amanah dan menjaga kerahasiaan. Ya, meskipun ini sifatnya himbauan atau harapan tapi semoga saja teman-teman pendamping ini bisa menjaga amanahnya.”

Penyandang netra, Ali Affandi dari Ikatan Tunanetra Muslim Indo nesia tingkat DIY, telah ikut memberikan suaranya dalam pemilu sejak tahun 2004. Sebagai seorang tunanetra total, ia merasakan adanya kemajuan dalam penyelenggaraan pemilu sejak tahun 2014.

Alasannya, “Kami sudah memperoleh fasilitas dengan huruf braile yang mana dapat kami akses nama-nama untuk mengetahui partai ataupun calon Presiden dan Wakil Presiden. Maka teman-teman tunanetra dapat melakukan pencoblosan dengan mandiri, tanpa dibantu oleh pendamping, sehingga kerahasiannya lebih terjamin.”

Namun demikian, untuk masing-masing pemilih difabel netra, hanya terdapat dua surat suara dengan huruf braile, yaitu untuk Presiden dan Wakil Presiden serta DPD (Dewan Perwakilan Daerah). Sedangkan tiga surat suara untuk DPR RI, DPRD untuk Provinsi dan Kabupaten belum menyediakan template braile. Jadi untuk tiga surat suara itu, para difabel netra memerlukan pendamping untuk mencoblos.

Pihak KPU dan KPPS berharap, para pemilih disablilitas dapat memenuhi hak pilihnya, karena satu suara tetap bermakna. [Red]#VOA

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *