Proyek TPT di Desa Supenuh Lamongan Disorot: Dugaan Penyimpangan Anggaran dan Komitmen Politik Muncul ke Permukaan

admin
Untitled

Untitled (2)LAMONGAN – MDN | Proyek pembangunan Tembok Penahan Tanah (TPT) di Dusun Mambung, Desa Supenuh, Kecamatan Sugio, Lamongan, menjadi sorotan publik. Proyek senilai Rp200 juta yang bersumber dari APBD Provinsi Jawa Timur tahun anggaran 2025 melalui skema Bantuan Keuangan Khusus Pemerintah Desa (BKKPD) diduga bermasalah, baik dari sisi teknis maupun etika politik.

Pantauan di lapangan menunjukkan kualitas bangunan yang meragukan. TPT sepanjang 252,5 meter dengan tinggi 1,2 meter tampak dikerjakan tanpa standar konstruksi yang memadai. Batu disusun tanpa ikatan kuat, dan adukan semen-pasir diduga menggunakan komposisi 1:5, jauh dari standar teknis minimal 1:3 untuk pasangan batu penahan beban.

“Kalau komposisinya 1:5, kekuatan struktur sangat rendah. Bangunan bisa cepat retak dan rontok, apalagi tanpa stros atau tulangan besi,” ujar seorang warga yang enggan disebutkan namanya, Kamis (18/9/2025).

Tim Pelaksana kegiatan, Husen, mengakui bahwa stros memang tidak digunakan karena tidak tercantum dalam Rencana Anggaran Belanja (RAB). “Kami hanya mengikuti RAB dan arahan dari kepala desa,” ujarnya.

Kepala Desa Supenuh, Achmad, membenarkan bahwa proyek tersebut berasal dari aspirasi anggota DPRD Jawa Timur, M.I. Andy Firasadi. Ia juga mengakui adanya “komitmen politik” dalam bentuk dukungan suara saat Pemilu Legislatif sebagai syarat pemberian proyek. Namun, ia membantah adanya potongan anggaran. “Tidak ada potongan. Kami hanya diminta komitmen mencarikan suara,” kata Achmad.

Sementara itu, informasi yang beredar menyebut adanya praktik potongan anggaran 20–30 persen sebelum proyek dijalankan, serta dugaan politik uang saat kampanye, dengan nominal Rp50–100 ribu per orang dari tim sukses anggota dewan terkait.

Achmad juga berdalih bahwa pembangunan TPT belum dilanjutkan karena sebagian pekerja sedang panen dan kondisi saluran air yang meluap akibat kiriman dari desa tetangga. “Kami tetap berkomitmen menyelesaikan proyek sesuai RAB,” ujarnya.

Jika terbukti ada penyimpangan anggaran atau praktik politik transaksional dalam proyek ini, maka pelaku dapat dijerat dengan sejumlah regulasi:

  • Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001, khususnya Pasal 3 yang mengatur penyalahgunaan kewenangan dalam pengelolaan keuangan negara. Ancaman hukuman maksimal 20 tahun penjara dan denda hingga Rp1 miliar.
  • Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, Pasal 72 dan Pasal 74, yang mengatur penggunaan Dana Desa dan bantuan keuangan harus transparan dan akuntabel.
  • Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, Pasal 280 dan Pasal 523, yang melarang politik uang dan menjatuhkan sanksi pidana bagi pelaku dengan ancaman penjara hingga 4 tahun dan denda Rp48 juta.
  • Peraturan Menteri PUPR Nomor 28/PRT/M/2016 tentang Pedoman Teknis Pembangunan Infrastruktur Desa, yang menetapkan standar teknis konstruksi, termasuk komposisi material dan penggunaan tulangan.

Publik berharap aparat penegak hukum dan lembaga pengawas segera turun tangan untuk memastikan tidak ada pelanggaran hukum dalam pelaksanaan proyek ini. Transparansi dan akuntabilitas menjadi kunci agar pembangunan desa tidak terjebak dalam praktik korupsi dan politik transaksional. [NH]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *