Opini  

Meningkatkan Transparansi Royalti Musik: Refleksi 10 Tahun LMKN

admin
Meningkatkan transparansi royalti musik ok
Heru Nugroho, Pembina Askomik (Asosiasi Komunitas Musisi Indie Kreatif Indonesia)

JAKARTA | MDN – Sejak berdirinya Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) pada tahun 2015, harapan besar muncul untuk menciptakan sistem pengelolaan royalti musik yang lebih transparan, akuntabel, dan berkeadilan bagi para musisi. Namun, satu dekade berlalu, industri musik Indonesia masih dihadapkan pada berbagai tantangan yang menimbulkan konflik di antara para pemangku kepentingan.

Menurut Heru Nugroho, salah satu individu yang turut membidani lahirnya LMKN, visi awal pembentukan lembaga ini adalah untuk mengakhiri persoalan kompleks dalam distribusi royalti musik. “Spirit awal LMKN adalah menata sistem royalti agar lebih terstruktur dan mampu menyejahterakan musisi. Namun, hingga kini, masih banyak kendala yang harus diselesaikan,” ungkapnya.

Tantangan dan Akar Masalah

Heru mengidentifikasi dua permasalahan utama yang masih membelit industri musik nasional:

  1. Minimnya Sosialisasi dan Edukasi Meski telah berjalan 10 tahun, masih banyak pencipta dan musisi yang belum memahami hak-hak mereka, alur distribusi royalti, serta cara klaim yang benar. Sosialisasi yang dilakukan oleh LMKN dan Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) dinilai belum cukup menjangkau seluruh lapisan musisi di Indonesia.
  2. Resistensi terhadap Perubahan Industri musik Indonesia telah eksis jauh sebelum Undang-Undang Hak Cipta Nomor 28 Tahun 2014 diterbitkan. Pola dan kebiasaan lama masih kuat mengakar, membuat beberapa pemangku kepentingan kesulitan beradaptasi dengan sistem royalti yang lebih modern dan terintegrasi.

Dampak bagi Industri Musik Nasional

Heru menekankan bahwa konflik berulang ini berdampak negatif pada ekosistem musik nasional. Energi yang seharusnya digunakan untuk berkarya justru tersita dalam perseteruan hukum. “Ketika musisi terus berseteru, bagaimana kita bisa bersaing dengan industri musik asing yang lebih solid dalam pengelolaan royalti?” ujarnya.

Persoalan royalti yang belum terselesaikan membuat industri musik Indonesia semakin rentan terhadap dominasi musik asing. Padahal, sistem royalti adalah elemen strategis bagi keberlangsungan industri musik dunia, sebagaimana telah diakui dalam World Intellectual Property Organization (WIPO).

Mendorong Perubahan Melalui Transparansi

Sebagai solusi, Heru mengajak Komisioner LMKN periode 2022-2025, bersama seluruh LMK dan pemangku kepentingan industri musik, untuk kembali memperkuat komitmen awal dalam mewujudkan sistem royalti yang lebih transparan. Beberapa langkah yang diusulkan antara lain:

  • Edukasi yang lebih efektif melalui penyederhanaan aturan hukum dalam format yang mudah dipahami, seperti infografis dan video tutorial.
  • Roadshow dan lokakarya interaktif ke berbagai komunitas musik di daerah untuk sosialisasi langsung.
  • Optimalisasi platform digital, seperti website yang lebih informatif dan media sosial dengan konten edukasi.
  • Transparansi dalam laporan keuangan dan distribusi royalti, sehingga lebih mudah diakses oleh publik.
  • Dialog konstruktif yang melibatkan semua pemangku kepentingan, termasuk musisi, label, promotor, dan pengguna musik.

Menuju Ekosistem Musik yang Lebih Sejahtera

Heru berharap LMKN dapat kembali menjalankan amanat awalnya dalam menciptakan sistem royalti yang adil dan transparan, serta mengembalikan marwah industri musik Indonesia sebagai ekosistem yang sehat dan berdaulat.

“Kita harus menciptakan sistem yang mendukung kesejahteraan musisi tanpa perlu terjebak dalam konflik fundamental yang sia-sia,” pungkasnya.

Heru Nugroho

Pembina Askomik (Asosiasi Komunitas Musisi Indie Kreatif Indonesia)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *