Pegiat HAM dan Hak Anak Kecam Keras Aksi Pembotakan Siswi SMP Lamongan

admin
Pegiat Ham Dan Hak Anak Kecam Keras Aksi Pembotakan Siswi Smp Lamongan 1

Sejumlah siswi sekolah menengah kejuruan di Cipatat, Bandung, Jawa Barat mengenakan hijab di kelas, 24 Agustus 2023. (Foto: Timur Matahari/AFP)

Aksi guru membotaki belasan siswi SMP di Lamongan, Jawa Timur, baru-baru ini menuai protes para pegiat HAM dan Hak Anak.  Mereka menyebut aksi yang dipicu oleh kekesalan karena  para pelajar itu tidak menggunakan ciput (dalaman jilbab) sebagai tindak kekerasan.

SURABAYA (MDN) – Ketua Bidang Data dan Informasi, Lembaga Perlindungan Anak Jawa Timur, Isa Anshori, menyesalkan peristiwa di Lamongan itu. Ia menilai, tindakan itu sebagai bentuk pemahaman agama yang berbeda. Guru yang melakukan tindakan itu, katanya, menganggap benar perspektifnya terkait jilbab.

Isa menilai, tindakan itu bertentangan dengan konsep Sekolah Ramah Anak yang tertuang dalam Perarturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 82 Tahun 2015, dan implementasi Merdeka Belajar yang diatur dalam Permendikbud Nomor 57 Tahun 2021.

“Akibat perspektif benar menurut guru itulah yang kemudian, guru melakukan sesuatu yang itu melanggar hak anak atas nama kebenaran, dalam tanda kutip, yang dipahami tadi. Sehingga menurut saya ini tidak boleh terjadi, kebenaran dalam perspektif seseorang, kemudian melanggar hak orang lain,” ujar Isa.

Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Aries Adi Leksono, menyebut segala bentuk kekerasan terhadap siswa tidak dapat dibenarkan meski dengan tujuan mengajarkan disiplin.

Menurut Aries, masih banyak cara yang positif dan lebih mengedukasi untuk mendisiplinkan peserta didik.

“Misalkan anak diajak untuk bicara, apa yang melatar belakangi dia seperti itu, sehingga nanti penyelesaian untuk hal-hal yang dirasa melanggar tata tertib sekolah, penyelesaiannya adalah berangkat dari kesadaran anak,” ujar Aries.

Pegiat HAM dan Hak Anak Kecam Keras Aksi Pembotakan Siswi SMP Lamongan_2Sejumlah siswi menghadiri kelas komputer pada bulan Ramadan di Pesantren Al-Mukmin di Solo, 2 Agustus 2011. (Foto: Reuters/Beawiharta)

Koordinator Jaringan Islam Anti-Diskriminasi (JIAD), Aan Anshori, menyayangkan masih adanya praktik kekerasan di lembaga pendidikan yang dapat melukai martabat siswa maupun guru secara keseluruhan. Menurut Aan, guru yang melakukan aksi itu perlu dikenai sanksi agar kejadian serupa tidak terulang kembali.

“Apa intensi dari guru tersebut ketika mewajibkan siswi-siswinya itu membawa ciput. Kalau intensi ini adalah terkait dengan model beragama, maka kita perlu khawatir bahwa ternyata ada guru-guru kita yang memiliki cara pandang keagamaan yang cukup konservatif, yang itu berpotensi besar, membahayakan bagaimana model pendidikan itu sendiri,” ujar Aan Anshori.

Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika, Kabupaten Lamongan, Sugeng Widodo, mengatakan kepada VOA kasus Lamongan telah diselesaikan.

Pihaknya menyebut peristiwa itu hanya emosi guru yang ingin mendisiplinkan muridnya. Pemerintah daerah, lanjutnya, memastikan akan melakukan pembinaan kepada sekolah dan guru agar kejadian serupa tidak terjadi lagi.

“Sebetulnya Lamongan itu kan memiliki tingkat kesalehan sosial yang sangat tinggi. Ya, itu mungkin emosional gurunya saja, yang seharusnya tidak perlu terjadi. Peristiwa itu sudah selesai, gurunya sudah minta maaf,” kata Sugeng. [Red]#VOA

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *