Opini  

Ketiga capres tidak miliki kejelasan visi pertahanan dan politik luar negeri

admin
Ketiga Capres Tidak Miliki Kejelasan Visi Pertahanan Dan Politik Luar Negeri
Dari kiri, calon presiden Indonesia Anies Baswedan dan pasangannya, Muhaimin Iskandar, Prabowo Subianto dan pasangannya, Gibran Rakabuming Raka, dan Ganjar Pranowo dan pasangannya, Mahfud MD, berpose dengan nomor urut pencalonan mereka dalam pemilihan umum tahun depan menyusul pengundian di KPU, 14 November 2023.
Namun ketiganya melihat Indonesia akan berperan lebih menonjol di dunia internasional seiring dengan pertumbuhan ekonomi.
Opini oleh Zachary Abuza
(MDN) – Sepertinya ketiga kandidat yang akan bertarung untuk menjadi presiden Indonesia tidak memberikan kejelasan yang strategis mengenai kebijakan pertahanan dan luar negeri mereka. Terlebih ketika kedua topik ini tidak termasuk sebagai isu yang menjadi perhatian para pemilih menjelang pemilu pada Februari 2024.

Jajak pendapat terbaru menunjukkan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto memimpin dengan dukungan suara lebih dari 40%. Putusan Mahkamah Konstitusi yang kontroversial yang membuka jalan bagi putra sulung Presiden Joko “Jokowi” Widodo, Gibran Rakabuming Raka, untuk mencalonkan diri sebagai wakil presiden bersama Prabowo adalah bukti bagi banyak orang bahwa Presiden tidak lagi netral.

Bahkan sebaliknya, Jokowi tampak aktif mendukung menteri pertahanan tersebut yang merupakan lawannya dalam dua pemilihan presiden sebelumnya.

 

Para aktivis membentangkan spanduk saat melakukan protes di Jakarta pada 26 Oktober 2023 atas keputusan Mahkamah Konstitusi yang mengubah peraturan persyaratan batas usia untuk pencalonan presiden/wakil presiden yang memuluskan jalan bagi Gibran Rakabuming Raka, putra Presiden Joko Widodo, menjadi calon wakil presiden berpasangan dengan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto. [Adek Berry/AFP]
Para aktivis membentangkan spanduk saat melakukan protes di Jakarta pada 26 Oktober 2023 atas keputusan Mahkamah Konstitusi yang mengubah peraturan persyaratan batas usia untuk pencalonan presiden/wakil presiden yang memuluskan jalan bagi Gibran Rakabuming Raka, putra Presiden Joko Widodo, menjadi calon wakil presiden berpasangan dengan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto. [Adek Berry/AFP]

Ganjar Pranowo, mantan Gubernur Jawa Tengah, adalah kandidat yang mewakili Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) yang merupakan partai dari Jokowi, presiden yang sedang menikmati popularitas tinggi dengan pertumbuhan ekonomi. Kompetisi ini sepertinya akan menjadi ajang dimana Ganjar akan kalah.

Posisi Ganjar dilemahkan oleh campur tangan dan dukungan yang tidak konsisten dari Megawati Sukarnoputri, ketua PDIP, partai yang saat ini berkuasa di pemerintahan. Jokowi, yang berselisihan dengan Megawati dan sepertinya tidak menemukan jalan untuk berdamai, tidak pernah mendukungnya. Jokowi tampaknya lebih tertarik membangun dinasti politik daripada melihat kebijakannya akan berlanjut.

Hal ini semua membuat kampanye Ganjar terbengkalai.

Kandidat ketiga adalah mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.

Ketiga kandidat berhaluan proteksionisme, pembela nasionalisme sumber daya yang diusung Jokowi, dan bersikap kritis pada persaingan negara-negara besar.

Ketiganya mendukung kuat tradisi politik luar negeri non-blok Indonesia dan mereka berjanji untuk memodernisasi militer. Tanpa memberikan rincian yang cukup, setiap kandidat jelas ingin melakukannya melalui produksi industri pertahanan dalam negeri yang lebih besar.

Namun tidak seperti Jokowi, setiap kandidat berbicara mengenai peran Indonesia yang lebih menonjol di dunia internasional, yang diprediksi akan menjadi kekuatan ekonomi keenam terbesar di dunia dalam lima tahun ke depan.

Karena tidak ada satu pun yang menjabarkan strategi yang jelas, publik harus menganalisa posisi mereka mengenai wilayah maritim dan khususnya posisi mereka terhadap agresi dan klaim berlebihan China di Laut China Selatan untuk dapat mengerti sepenuhnya perbedaan di antara mereka.

Wilayah maritim

Indonesia bersikap naif terhadap klaim maritim China. Jakarta telah meminta koordinat yang pasti dari sembilan garis putus-putus yang tampaknya melewati zona ekonomi eksklusif namun Beijing menolak permintaan tersebut.

Indonesia tidak mengakui garis putus-putus tersebut. Kondisi ini memberikan alasan yang lemah bagi Indonesia untuk mengatakan bahwa Indonesia tidak memiliki sengketa wilayah dengan Beijing, meskipun fakta menunjukkan bahwa armada penjaga pantai, milisi maritim, dan kapal penelitian seismik China secara rutin melanggar zona ekonomi eksklusif Indonesia.

Sebagai calon presiden pada tahun 2013 dan 2014, Jokowi mengembangkan poros maritim sebagai strategi holistik yang berupaya meningkatkan sumber daya bagi angkatan laut dan penjaga pantai untuk melindungi wilayah perairan, sekaligus meningkatkan infrastruktur maritim untuk menyatukan seluruh nusantara dan memperluas pertumbuhan ekonomi.

Sayangnya, Jokowi tidak pernah mengimplementasikan strategi ini dan malah berusaha mendekati Beijing.

Gambar selebaran yang diambil dan dirilis pada 8 Januari 2020 oleh Istana Kepresidenan ini memperlihatkan Presiden Indonesia Joko Widodo (kiri) saat berkunjung ke pangkalan militer di kepulauan Natuna yang berbatasan dengan Laut China Selatan. Beberapa hari sebelumnya sejumlah kapal China ditemukan berlayar di sekita zona ekonomi eksklusif Indonesia. [Selebaran/Istana Kepresidenan/AFP]
Gambar selebaran yang diambil dan dirilis pada 8 Januari 2020 oleh Istana Kepresidenan ini memperlihatkan Presiden Indonesia Joko Widodo (kiri) saat berkunjung ke pangkalan militer di kepulauan Natuna yang berbatasan dengan Laut China Selatan. Beberapa hari sebelumnya sejumlah kapal China ditemukan berlayar di sekita zona ekonomi eksklusif Indonesia. [Selebaran/Istana Kepresidenan/AFP]

Tahun ini, tidak ada kandidat yang berani memprovokasi China. Penurunan ekspor yang tajam ke China pada tahun 2023 karena melemahnya ekonomi diperkirakan akan memperlambat pertumbuhan ekonomi Indonesia sekitar 1%.

Anies, yang menginginkan suara dari kelompok Islamis namun tertinggal jauh di urutan ketiga dalam jajak pendapat, adalah kandidat yang paling vokal menentang China.

Ganjar adalah kandidat yang paling banyak meniru kebijakan pertahanan Jokowi dan paling ragu-ragu untuk menentang China secara terbuka, karena posisi China sangat berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Manifesto kampanye Ganjar tidak berfokus pada penguatan angkatan laut dan angkatan udara, melainkan pada penguatan penjaga pantai agar menjadi cukup besar untuk mempertahankan wilayah perairan Indonesia dari intervensi asing dan penangkapan ikan yang tidak diatur dan ilegal.

Prioritas pertahanan Ganjar berfokus pada persenjataan yang lebih murah dan lebih asimetris untuk strategi anti-akses dan menahan infiltrasi terhadap wilayah Indonesia, termasuk peluru kendali penyerang kapal, artileri pantai, ranjau, dan penggunaan spektrum electromagnetic dalam perang (electronic warfare).

Bahkan Prabowo, yang telah bertransformasi dari sosok antagonis terhadap Jokowi menjadi pembela peninggalannya, punya perbedaan dalam kebijakan pertahanan dan keamanannya.

Prabowo, yang menolak tuduhan dirinya telah melanggar hak asasi manusia saat berkarir di dunia militer, telah merevitalisasi konsep poros maritim tanpa menyediakan detil yang lebih jelas. Namun, kebijakan pertahanannya mungkin akan lebih bombastis dibandingkan para pesaingnya.

Meskipun demikian, retorikanya tidak terlalu menunjukkan sikap anti-China dibandingkan lima tahun yang lalu.

Di bawah kepemimpinan Prabowo sebagai menteri pertahanan, Indonesia sering terlihat tidak mau melawan intimidasi atau penelitian seismik China di zona ekonomi eksklusif Indonesia. Hal ini mendorong China menjadi lebih agresif.

Prabowo telah mencoba memodernisasi militer Indonesia dengan cepat, khususnya angkatan udara dan angkatan laut, namun menumpuk persenjataan besar-besaran menjadi masalah karena beberapa alasan.

Pertama, masih sedikitnya pemikiran mengenai strategi negara ini. Pemerintah Indonesia belum secara jelas mendefinisikan ancaman-ancaman yang dihadapinya sehingga tampaknya mereka lebih memilih membeli senjata untuk pamer dibandingkan untuk menghadapi situasi darurat yang diperkirakan dapat terjadi.

Kedua, mengingat sejarah ketergantungan yang berlebihan terhadap senjata AS dan dampak berat dari sanksi itu, Indonesia telah mencoba mendiversifikasi sumber perangkat keras militernya. Upaya itu sudah terlalu jauh karena ada 33 negara yang menjadi sumber senjata.

Indonesia dikenal atas upayanya untuk memodernisasi alat utama sistem pertahanan dengan biaya murah, namun terjebak dengan sistem persenjataan yang tidak dapat berkomunikasi satu sama lain dan belum tentu dapat dioperasikan. Hal ini juga menciptakan dampak logistik yang sangat rumit.

Ketiga, masih sedikit pemikiran mengenai bagaimana Indonesia akan membiayai upaya ini meskipun kementerian keuangan menolak keras rencana Prabowo.

Modernisasi angkatan udara adalah salah satu contohnya. Indonesia memiliki armada F-16 yang sudah tua dari Amerika Serikat serta SU-27 dan SU-30 dari Rusia. Moskow sudah menolak upaya untuk mengadakan perjanjian barter lain dengan Jakarta untuk menukar perangkat keras militer dengan komoditas yang dibutuhkan.

Hal ini memaksa Indonesia untuk mencari negara lain, seperti Perancis dimana Indonesia sepakat untuk membeli 42 pesawat tempur Dassault Rafale senilai $8,1 miliar. Indonesia juga membeli sejumlah pesawat tempur Dassault Mirage bekas dari Uni Arab Emirat seharga $800 juta.

Pesawat tempur Dassault Rafale buatan Prancis dalam acara Dubai Airshow 2023 di Bandara Internasional Al-Maktoum di Dubai pada 13 November 2023. [Giuseppe Cacace/AFP]
Pesawat tempur Dassault Rafale buatan Prancis dalam acara Dubai Airshow 2023 di Bandara Internasional Al-Maktoum di Dubai pada 13 November 2023. [Giuseppe Cacace/AFP]

Prabowo menandatangani kesepakatan pada Agustus lalu untuk membeli 24 unit F-15EX dari Amerika Serikat, namun nilai pembelian itu tidak diungkapkan.

Indonesia pernah menandatangani perjanjian dengan Korea Selatan untuk membangun dan memproduksi pesawat tempur siluman KF-21 pada tahun 2016, dan berjanji untuk membayar 20% ($958 juta) sebagai syarat untuk dapat memproduksi 48 pesawat di dalam negeri. Sejak itu, Indonesia gagal meneruskan pembayaran, sehingga menyebabkan Seoul untuk mempertimbangkan mengeluarkan Jakarta dari program ini.

Kebijakan luar negeri biasanya tidak menjadi prioritas bagi pemilih Indonesia dan hal ini tampaknya akan terjadi lagi pada pemilu yang akan diadakan pada 14 Februari 2024 mendatang.

Dan tidak ada perbedaan signifikan antara para kandidat dalam sebagian besar aspek kebijakan luar negeri dan pertahanan. Prabowo adalah kandidat yang paling vokal mengenai perlunya modernisasi militer, namun tidak jelas apa tujuannya.

Selain janji netralitas dan ketakutan akan terjebak dalam persaingan negara-negara besar, Indonesia tidak memiliki strategi jelas dalam isu luar negeri dan pertahanan, demikian juga halnya pada ketiga kandidat presiden. [J2/Red]

Zachary Abuza adalah profesor di National War College di Washington dan asisten di Universitas Georgetown. Opini yang dikemukakan di sini adalah pendapatnya sendiri dan tidak mencerminkan posisi Departemen Pertahanan AS, National War College, Universitas Georgetown, atau BenarNews.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *