Algoritma Media Sosial: Seberapa Besar Pengaruhi Pemilu Indonesia?

admin
Algoritma Media Sosial
Platform-platform digital di ponsel. (Courtesy: VOA Indonesia)

(MDN) – Pengembangan algoritma di platform digital berbasis konten video ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi menyajikan konten yang pengguna sukai, di sisi lain berpotensi sebabkan ‘filter bubble’ alias gelembung penyaring informasi. Lalu, apakah algoritma jadi salah satu faktor penentu pemilu tahun ini?

Dominasi pemilih muda pada pemilu Indonesia membuat suara mereka diperebutkan para politisi. Mereka termasuk ke dalam kategori Gen Z dan Milenial, dua generasi yang juga lekat dengan media sosial.

Berbeda dari pemilu sebelumnya, platform-platform digital berbasis konten video kini menjadi sorotan hangat karena dianggap sebagai medan tempur yang semakin diperhitungkan para kandidat untuk berkampanye dan raup suara jelang pemilu.

Pelopor format video vertikal berdurasi pendek adalah TikTok, yang mulai diperkenalkan di Indonesia pada 2017. Meta kemudian merilis fitur serupa bernama ‘Reels’, dan YouTube ikut meluncurkan ‘Shorts’ untuk menyaingi kepopuleran TikTok. Keduanya baru tersedia di Indonesia pada 2021.

YouTube Shorts dirilis tahun 2021 untuk saingi TikTok dan Reels. (Reuters/Dado Ruvic)
YouTube Shorts dirilis tahun 2021 untuk saingi TikTok dan Reels. (Reuters/Dado Ruvic)

Berdasarkan data agensi ‘We Are Social’, per Oktober 2023, jumlah pengguna TikTok di Indonesia telah mencapai 106 juta, urutan kedua terbanyak dunia, setelah Amerika Serikat.

Salah satu fitur utama yang dimiliki TikTok adalah FYP, alias laman “For You” atau “Untuk Anda”, yang mengandalkan algoritma, yaitu serangkaian data dan aturan yang digunakan media sosial untuk menentukan konten apa yang ingin dilihat pengguna.

TikTok menjelaskan bahwa cara platform itu merekomendasikan video di laman “Untuk Anda” didasarkan pada sejumlah faktor, yaitu interaksi pengguna (video-video yang disukai, diberikan komentar, dan dibagikan ke pengguna lain), informasi-informasi dari video (teks, musik, dan tagar yang dipakai), serta informasi pengguna (preferensi bahasa, jenis perangkat dan lokasi pengguna).

Menurut Enda Nasution, pakar teknologi dan pengamat media sosial, pada dasarnya fitur rekomendasi semacam ini merupakan sebuah solusi terhadap banyaknya konten yang ada, sehingga pengguna bisa menemukan konten-konten yang dianggapnya menarik.

“Objektif dari algoritma media sosial adalah agar pengguna menghabiskan waktu selama mungkin di platform mereka,” ujarnya.

Namun, muncul risiko lain yang tidak semua orang sadari, di mana konten-konten yang mereka tonton menjadi semakin homogen dan menimbulkan fenomena yang disebut sebagai “filter bubble”, atau gelembung penyaring informasi, di mana pengguna tidak menyadari bahwa mereka terjebak di dalam lingkup informasi yang hanya akan memperkuat pandangan mereka sendiri.

Kemunculan fenomena itu pun tidak disanggah TikTok, yang memang menyebut filter bubble sebagai tantangan yang melekat pada sistem rekomendasi.

Lantas, apa implikasinya terhadap pemilu kali ini?

“Jadi kalau kitanya sudah menutup diri, tidak mau melihat pilihan kandidat (capres-cawapres) yang lain, kecenderungan kita untuk mencari informasi, bahkan ketika dipaparkan informasi yang kontra atau negatif terhadap calon yang kita pilih pun, kita sudah akan antipati duluan,” jelas Enda.

Sementara itu, kepada VOA, pakar media dan komunikasi massa dari Oklahoma State University, Nuurrianti Jalli, menilai algoritma dapat menyeret pengguna ke dalam narasi-narasi yang berbau propaganda, ujaran kebencian dan emotional content (konten yang memicu respon emosional audiens), yang bisa terbawa ke kehidupan nyata, yang berarti, orang-orang akan turun ke jalanan.

Algoritma di Mata Pengguna

Sebagai pengguna media sosial, Antariksa Akhmadi, mahasiswa University of Maryland, mengakui adanya kecenderungan algoritma dalam menyetir pandangan pengguna selama masa kampanye pemilu.

“Pada satu titik, mungkin terpengaruh opini tertentu, misalnya (saat) sudah mulai menjurus ke paslon presiden tertentu,” katanya.

Namun, sebagai pengguna yang melek teknologi, Antariksa tidak serta-merta menerima konten yang disajikan kepadanya. “Kadang-kadang harus scroll yang lama, baru ketemu (konten soal paslon lain), karena adanya algoritma itu tadi.”

Ia sendiri lebih menyukai platform X, yang memudahkannya melihat interaksi antarakun pengguna dibandingkan Instagram maupun TikTok, meskipun ia juga terkadang melihat video-video yang ada di kedua platform itu diunggah-ulang di X.

Senada dengan Antariksa, Fransiska Elizabeth, melihat pola algoritma serupa pada Instagram.

“Ketika Instagram ini sudah mengarah ke sesuatu, menjurus ke paslon tertentu, aku biasanya memaksakan diri untuk mencari informasi tentang paslon lain. Itu sesuatu yang sebenarnya sulit kan buat kita. Kita sulit mendengarkan kebenaran orang lain, ketika kita sudah punya kebenaran (sendiri),” ujarnya.

Di sisi lain, Nuurrianti menyoroti adanya ketimpangan literasi digital antarmasyarakat di Indonesia. “Kita juga harus memikirkan bahwa di beberapa daerah, literasi digital masyarakat tidak semuanya tinggi,” kata Nuurrianti.

Di samping narasi negatif, tambahnya, masyarakat dengan literasi digital yang kurang memadai juga bisa terpapar dan terpengaruh konten-konten palsu buatan teknologi kecerdasan buatan (AI). Ia mencontohkan beredarnya video deepfake mantan presiden Soeharto yang “bangkit lagi” untuk menyerukan pencoblosan tanggal 14 Februari.

“Hanyut” dalam Algoritma, Apa Solusinya?

Untuk menghindari perangkap algoritma, Nuurrianti menjabarkan sejumlah saran kepada pengguna, diantaranya diversifikasi opsi, alias meragamkan konten-konten video yang dikonsumsi serta platform digital yang digunakan, cek ulang fakta yang disodorkan di media sosial, dan berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda opini untuk dapat membuat informed decision, atau keputusan berbasis informasi yang mereka terima.

Menanggapi pertanyaan VOA soal kontribusi platformnya dalam menjaga integritas pemilu, TikTok menjelaskan bahwa di Indonesia, pihaknya telah meluncurkan Pusat Panduan Pemilu, serta menjalin kerja sama dengan pemeriksa fakta dari agensi media AFP dan organisasi-organisasi lokal, seperti Masyarakat Anti-Fitnah Indonesia (MAFINDO) dan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), untuk melaporkan konten-konten yang melanggar panduan komunitas.

VOA juga telah menghubungi Meta dan YouTube, namun sampai laporan ini diturunkan, belum ada tanggapan dari kedua pihak.

Meski demikian, dilansir dari unggahan blognya, Instagram milik Meta pada Jumat lalu (9/2), mengumumkan perluasan kebijakan ‘Reels’ untuk membatasi konten politik dari akun-akun yang tidak diikuti. Namun, tidak dijelaskan dengan rinci apakah kebijakan tersebut telah diberlakukan di Indonesia selama menjelang pemilu ini.

Terlepas dari potensi pusaran algoritma, Enda menekankan bahwa keputusan akhir soal apakah konten yang direkomendasikan disukai atau tidak, kembali lagi ke tangan penggunanya. [Red]#VOA

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *